Monday, September 29, 2008

Sapu Jagad Tak Lewat



Sapu Jagad* Tak Lewat;
Di Stasiun Ini Kulihat Wajah Indonesia

Pagi


hari masih pagi…
derit roda kereta mencericit
sapa rerintik bening embun
mendesah lirih
bisikkan mimpi yang harus di kejar
sebelum menjauh tersaput lembut kabut

di stasiun ini kulihat wajah Indonesia
ya wajah Indonesia
benar-benar tanpa beda
pinang di belah dua

bermacam wajah manusia tiba
menjinjing kopor-kopor harapan
beban hidup yang harus dijalankan
susuri rel kereta kehidupan
tanpa bisa ditunda

loket tiket telah dibuka
tawarkan beragam pilihan kereta
tapi tujuannya tetaplah sama
satu tempat di ujung horizon
tempat dimana bahagia selalu berada

di stasiun ini kulihat wajah Indonesia
ya wajah Indonesia
siapa sangka
pinang di belah dua

orang-orang tak berpunya
sebagian lara papa
berdesak-desakan antri
demi tiket yang didamba

calo-calo berkeliaran bebas
mencuri kesempatan meraup laba
main mata
pada petugas yang juga loba

orang-orang kaya melenggang tenang
tertawa-tawa
uang mereka telah bicara
tiket telah mereka punya
nyaman menunggu di ruang istimewa


Siang


hari telah siang
peluit kereta membelah langit
berteriak kepada mimpi
yang tak juga turun menyapa bumi
yang terkapar dibakar terik matahari

di stasiun ini kulihat wajah Indonesia
ya wajah Indonesia
telanjang tanpa busana
pinang di belah dua

orang-orang tak berpunya
berlomba cepat mencari tempat
saling sikut asalkan bisa ikut
saling injak asalkan bisa beranjak

lelaki-lekaki beradu umpat
perempuan-perempuan beradu jerit
anak-anak beradu tangis

tak ada yang menggubris
di sini
hukum rimba
bicara

orang-orang kaya
lenggang kangkung saling bercanda
tak terbebani bekal berlimpah
cukup satu recehan pemberat saku
porter-porter siap membawa

peluit penjaga stasiun
melengking membelah langit
orang-orang papa semakin kalap
memaksa masuk walaupun gerbong tak lgi cukup
tak perduli terinjak derita, terdesak sengsara
berkarib duka lara merekatelah terbiasa

orang-orang kaya
bersilang kaki di kursi empuk
yang sama persis di tempat kerja mereka
dimana harta bisa didatangkan dengan segala cara
tanpa perduli apapun akibatnya
bagi sesama

di stasiun ini kulihat wajah Indonesia
ya wajah Indonesia
lengkap dengan kerut derita
dan ironi senyum licik di mulutnya
pinang di belah dua

lengking bel kereta
membelah angkasa
melaju terseok berat
limbung oleh sarat
harapan yang didamba
bermacam manusia
yang tak semua terbawa
terutama kaum papa

Malam


malam telah menjelang
ujung hari nyaris terlewati
kereta tak henti datang dan pergi
namun masih juga banyak orang yang menanti
kaum miskin yang cuma punya mimpi

mereka cuma bisa mendamba
kereta terakhir bernama sapujagad
meski terlambat
sekedar lewat tawarkan tempat
datang bersama gelap yang semakin menyayat

sampai tengah malam tepat
sapujagad tak juga lewat
orang-orang pun terlelap
bersama sedikit mimpi
yang masih bisa mereka dekap

siapa sangka
di stasiun ini kulihat wajah Indonesia
ya benar-benar wajah Indonesia
lengkap dengan raut wajah putus asa
setelah berpuluh tahun merdeka
sepertinya sia-sia
pinang di belah dua
(Jakarta, 2007)



Note:

*) KA Sapujagat, yaitu gerbong kereta barang atau parsel yang disulap berisi penumpang yang akan mudik menjelang Lebaran. Karena istilah Kereta Api Sapu Jagad yang digunakan selama ini, kesannya tidak manusiawi, maka PT KAI meluncurkan kereta baru yang disebut Kereta Komunitas.

Pada kereta Sapu Jagad yang beralih nama menjadi Kereta Komunitas, gerbong bagasi yang digunakan mengangkut penumpang dimodifikasi supaya penumpang nyaman berada di dalamnya. Ada empat pintu di gerbong bagasi ini. Gerbong juga dilengkapi dengan kamar mandi. Selain itu, lantai gerbong dilapisi karpet serta dilengkapi kipas angin supaya penumpang tidak kepanasan.

Hal ini berbeda dengan gerbong bagasi "Sapu Jagad" yang sebelumnya. Gerbong bagasi hanya terdiri dari dua pintu, lantai gerbong tidak memakai alas, tidak ada kamar mandi, dan tidak ada kipas angin.

malam telah mati




malam telah mati
*-teruntuk;Jakarta!

tanpa kibar bendera putih
istirah malam di kota ini
telah menyerah
pada benderang lampu-lampu penerang
yang tertata apik di pinggir jalanan
lupakan hari gelap
yang dihembus tenggelam surya

tanpa kibar bendera putih
pekat malam di kota ini
telah menyerah
pada kemilau sorot lampu-lampu hias
yang terserak di sudut-sudut taman
redupkan makna indah
kemilau kerling kerlip bintang

tanpa kibar bendera putih
dingin malam di kota ini
telah menyerah
pada lekuk tubuh perempuan malam
yang mendesah tebarkan wangi gairah
usir gemerutuk gigil
hembusan lembut angin malam

tanpa kibar bendera putih
sepi malam di kota ini
telah menyerah
pada gegap dentum musik-musik ruang
yang riang luapkan gairah
lirihkan gelitik bunyi
derik jengkerik yang alami

tanpa kibar bendera putih
tidur malam di kota ini
telah menyerah
pada deru mesin-mesin dan meja kerja
yang serakah ciptakan mimpi
nobatkan sang harta
di puncak arti tujuan diri

tak ada lagi malam di kota ini
namun tak ada seorang pun yang mencari

setelah pelan-pelan undur diri
akhirnya malam pun
mati

(benar-benar kusaksikan
dia terkapar,
menggelepar
lalu
diam)

mati penasaran?

Cawang-Jakarta; 29;01;2007;14.08