Tuesday, November 24, 2009

Cuci Gudang "Demi Tuhan"

obralobralobralobral...
obral besaaaaaarrr!!!
laiknya cuci gudang
tibatiba "Demi Tuhan" diobral di manamana
di mejameja peradilan
di corongcorong media
di gedunggedung
di pekantoran
di jalanan
di sembarang waktu
yang kita tahu sebagai medan tiputipu

obralobralobralobral...
obral besaaaaaarrr!!!
laiknya cuci gudang
tibatiba "Demi Tuhan" diobral di manamana
seperti laiknya barang dagangan
yang dipajang di etalase tontonan
dipoles bonus wajah memelas
mata berkacakaca
dan sedikit tetes air mata
agar disangka sumpah yang sesungguhnya

obralobralobralobral...
obral besaaaaaarrr!!!
laiknya cuci gudang
tibatiba "Demi Tuhan" diobral di manamana
didiskon nilai kesakralannya
dihilangkan kadar kesuciannya
agar gampang dilantunkan
ketika kesaksian dipertanyakan
dan kebenaran palsu diragukan

obralobralobralobral...
obral besaaaaaarrr!!!
laiknya cuci gudang
tibatiba "Demi Tuhan" diobral di manamana
ditawarkan secara paketan
dalam sandiwarasandiwara peradilan
yang tentu saja semakin melelahkan

obralobralobralobral...
obral besaaaaaarrr!!!
laiknya cuci gudang
tibatiba "Demi Tuhan" diobral di manamana
dijadikan tudung pelindung
kesalahan yang makin membusung
mendesak kebenaran jauhjauh ke ujung berung

obralobralobralobral...
obral besaaaaaarrr!!!
laiknya cuci gudang
tibatiba "Demi Tuhan" diobral di manamana
banyak orang beli untuk cuci diri
tak perduli lagi
azab yang menanti

Note:
Hadist tentang larangan SUMPAH PALSU :

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Dosa besar itu adalah syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa seseorang, dan sumpah palsu” [HR. Al-Bukhari]

Dari al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan kalian untuk durhaka kepada ibu-ibu kalian, man’an wa haatin (menolak kewajiban dan menuntut yang bukan haknya), mengubur hidup-hidup anak perempuan. Dan Allah membenci kalian dalam hal menyebar kabar yang tidak benar, banyak meminta-minta, dan menyia-nyiakan harta.”[HR. Al-Bukhari dan Muslim

Wednesday, November 18, 2009

Suatu senja di perempatan lampu merah Jakarta

Gerimis rintik mencabik pucuk kulit ari. Bulu kuduk merinding menantang temaram senja. Kecipak roda melindas tandas genangan air di aspal. Memercik ritmis memancing umpatan sebal mereka yang terpercik air bercampur kotoran jalanan.

Seperti biasa, hari itu hujan kembali menyapa senja. Sinar lampu meredup. Kemilau biasnya lembut menembus serpihan embun yang terserak acak dihembus semilir angin malam.

Sementara itu di pojok jalan berlubang, bocah kecil berwajah lonjong, menatap kosong ke ujung lorong. Sepasang mata kecilnya memandang melompong kepada harapan yang selalu mengolok-olok ketidakberuntungan yang tergurat di tangan mungilnya.

Bocah kecil berwajah lonjong itu berdiri membungkuk menahan beban. Di dada kerempengnya tergolek molek, bayi bocah berumur bulanan. Mata mungilnya kemilau bening, pancarkan kepolosan. Tak pernah bertanya kenapa dia dilahirkan pada sang ibu yang duduk menunggu di pinggir trotoar. Santai.

Lampu memerah. Kericit derit rem kendaraan yang beradu dengan aspal, menyayat bising menancap henti. Semua kendaraan pun akhirnya diam di perempatan. Orang-orang menggigil beku menunggu waktu yang selalu buru-buru.

Kaki ceking bocah kecil berwajah lonjong melangkah gemetar. Menapak telanjang menahan beban di gendongan. Pelan-pelan ia tengadahkan satu telapak tangan. Sepasang matanya memelas. Memohon. Mengais iba yang tersisa pada orang-orang yang berhenti di perempatan. Berhenti di satu demi satu kendaraan, demi recehan yang mungkin tak enggan tuk disumbangkan.

Saat lampu kembali menghijau, bocah kecil itupun berlari ke tepian. Menghampiri sang ibu yang asyik termangu di sudut trotoar. Dengan bersemangat ia berikan uang receh yang didapatnya sebelum bergegas kembali ke jalanan. Menunggu lampu merah kembali menyapa senja yang menjadi semerah darah.

Note:
Jangan Umbar Iba di Jakarta,
Setiap Hari Rp.1,5 Milyar Receh Terbuang Sia-Sia
*) Tulisan ini pernah dimuat di majalah Info & Dinamika Kodya Jakarta Timur


Fragmen dalam prosa liris di atas, adalah pemandangan yang sangat gampang kita temui di banyak tempat di sudut-sudut Jakarta ini. Wajah-wajah polos dan lugu anak-anak jalanan yang seakan penuh beban dan derita membuat hati kita tersentuh oleh iba. Hingga tak segan, kita dengan ikhlas merogoh receh di kocek untuk dibagikan pada mereka. Namun adakah hal itu mampu mengentaskan mereka dari penderitaan yang ada? Nampaknya niat baik kita terkadang justru berakibat sebaliknya. Bukan menolong mereka, ternyata ketulusan kita tak jarang justru malah menjerumuskan mereka ke jurang penderitaan di masa-masa mendatang.

Terjebak Iba
Dulu banyak kalangan yang beranggapan bahwa krisis moneter adalah penyebab dari banyaknya anak jalanan di kota besar khususnya Jakarta ini. Namun walau perekonomian bangsa Indonesia telah berangsur pulih, kenyataan tersebut tidak mengurangi jumlah anak jalanan.

Selain minimnya peluang kerja ternyata salah satu alasan yang membuat fenomena maraknya anak jalanan tersebut terjadi yaitu “uang pemberian kita”. Hal itu terungkap oleh laporan pengalaman dari berbagai LSM yang melakukan pendampingan kepada anak jalanan.

Sadar maupun tidak, kita telah terjebak oleh “kasihan” serta “ketakutan akan tindak kejahatan di jalanan”. Rasa “kasihan” tersebut yang selalu menjadi senjata bagi anak jalanan untuk memperoleh uang. Maka tidak heran jika banyak anak jalanan dijadikan komoditas “kasihan” bagi orang tua mereka. Hal yang biasa kita temui yaitu adanya ibu-ibu ngamen atau mengemis dengan membawa anaknya, sedang yang lebih tragis lagi adalah anak-anak tersebut dikelola di jalanan oleh seorang koordinator, dibawah ancaman. Sebuah eksploitasi anak kerap terjadi dari sini.

Usut punya usut, ternyata anak jalanan mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Sebagai gambaran, dalam sehari anak jalanan dapat memperoleh kurang lebih Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 40.000,-. Uang tersebut diberikan kepada orang tuanya (jika masih memiliki), koordinator, atau untuk diri sendiri. Ada beberapa anak menggunakan uang tersebut selain untuk menyambung hidup, digunakan untuk biaya sekolah. Namun ironinya, justru sebagian besar mereka gunakan untuk berjudi, mabuk, ngelem, merokok bahkan untuk beli narkoba.

Dari sekian banyak penelitian yang dilakukan sejumlah LSM, uang yang diperoleh anak-anak marjinal ini, sebagian besar tidak mendukung peningkatan kesejahteraan mereka. Ternyata penelitian ini menemukan bahwa jajan, ada di peringkat pertama; main dingdong atau permainan elektronik lainnya, menjadi pilihan kedua; dan terakhir, setoran ke orang tua atau inang/senior sebagai pelindung mereka di jalanan. Jadi, bocah-bocah berpenampilan kumuh ini pun tetap miskin, tetap terancam putus sekolah, dan tetap berkeliaran di jalan.

Banyak pihak dan yayasan yang telah mencoba menolong mereka dengan memberikan sekolah gratis, makanan gratis dan rumah singgah bagi mereka. Namun mereka tetap kembali ke jalan.

Mengapa? Karena uang kasihan yang kita berikanlah biang keroknya. Karena setiap hari mereka memperoleh "uang gampang". Kalau misalkan saja paling sedikit Rp. 20.000,- sehari, itu berarti dalam sebulan mereka bisa memperoleh Rp. 600.000,- . Wow jumlah yang cukup besar kan? Tidak heran jika akhirnya mereka memilih untuk tetap di jalan.

Telah ada beberapa usaha untuk membantu mereka keluar dari kehidupan jalanan, namun usaha tersebut terkendala akan “easy money”. Beberapa anak jalanan dibina di rumah singgah dengan diberikan bimbingan pendidikan, ketrampilan dan pemberian kesempatan kerja. Ironisnya, mereka bertahan hanya beberapa bulan lalu kembali kejalan. Beberapa anak disekolahkan dan ditanggung biaya hidupnyapun kembali ke jalanan. Setelah ditanyakan alasan kembalinya mereka karena lebih mudah memperoleh uang di jalan dari pada bekerja atau kembali sekolah.

Secara singkat bahwa pemberian uang anda berdampak mengerikan bagi nasib si anak jalanan. Secara tidak langsung uang tersebut anda menginvestasikan kemalasan, kebodohan, tingkat kriminalitas, masa depan suram bagi anak-anak yang kita beri uang kasihan.

Bukan mustahil jika dibiarkan, 10-20 tahun lagi pun, mereka akan tetap berada dijalanan dan bisa jadi menjadi preman yang tinggal di jalan dan melahirkan anak-anak kurang mampu dan yang tidak berpendidikan. Tentu saja ini akan menjadi lingkaran setan di negara kita.

1.5 Milyar Perhari Terbuang Sia-sia

Sadarkah kita bahwa kita, penduduk Jakarta, setiap harinya membuang uang receh hingga mencapai 10 digit setiap harinya, ke jalanan. Hal ini bisa kita hitung secara gampang dan kasat mata.

Coba kita hitung. Jumlah anak jalanan di Jabodetabek saat ini berdasarkan data terakhir dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencapai angka 75.000 orang. Pendapatan mereka seharinya bisa mencapai Rp 20.000 - Rp 40.000. Bila kita ambil angka terkecil saja, misalnya Rp 20.000,- maka jika dikalikan 75.000 anak, maka hasilnya berarti kita membuang uang receh (cepek, gopek, seceng) sebesar 1.500.000.000 alias 1,5 milyar per hari! Menakjubkan bukan?

Perhitungan matematis di atas menimbulkan satu pertanyaan ironik yang besar. Jangan-jangan bisa jadi kitalah yang membuat anak-anak itu betah berada di jalan. Dengan mengamen, mengemis, menyapukan kemoceng di atas dashboard mobil, atau menyodorkan amplop sumbangan, satu anak jalanan usia SD bisa memiliki penghasilan yang beda tipis dengan lulusan diploma. Benar-benar begitu mudah bagi mereka. Tanpa perlu capek-capek sekolah, susah-susah melamar kerja, toh hasilnya hampir sama.

Itu semua berujung karena kita terjebak pada kata "kasihan". “Kasihan” adalah alasan sebagian orang yang memberikan uang kepada para pengemis di jalan. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa menyantuni orang miskin adalah kewajiban setiap orang. Tapi apakah memberikan uang menyelesaikan masalah kemiskinan dan menghilangkan para pengemis di jalan? Jelas jawabannya adalah tidak.

Tanpa disadari dengan memberikan uang kepada para pengemis justru memunculkan berbagai masalah seperti: 1.) Mereka akan kembali lagi mengemis keesokan harinya karena mereka beranggapan bahwa mengemis itu mudah. Akibatnya, jumlah pengemis akan semakin bertambah. 2.) Mengancam keselamatan mereka sendiri, 3.) Mengganggu kelancaran lalu-lintas, 4.) Tidak pantas dipandang, 5.) Kota kita akan dikenal sebagai "kota pengemis", 6.) Mungkin kali ini yang berdiri di sana adalah pengemis, namun bias jadi kali lain mungkin perampok yang berpura-pura menjadi pengemis.

Gerakan “Mapan” di DKI Jakarta
Untuk mengatasi fenomena yang mengenaskan tersebut, Gubernur Propinsi DKI Jakarta Sutiyoso sejak awal April 2005 lampau telah mencanangkan gerakan resmi bertajuk GERAKAN MAPAN (Gerakan tidak membeli atau memberi apapun kepada siapapun di jalan). Berbekal gerakan ini, maka diharapkan fenomena anak jalanan yan semakin mengenaskan di atas bisa teratasi.

Tentu saja peran masyarakat sangat dibutuhkan di sini. Oleh sebab itu Kesos Kotamadya Jakarta Timur, M. Anshary Atjo, tak enggan-enggan untuk selalu meminta masyarakat Jakarta Timur untuk ikut aktif mensukseskan Gerakan Mapan tersebut. Tanpa dukungan masyarakat, gerakan yang dicanangkan oleh Gubernur Propinsi DKI Jakarta Sutiyoso sejak awal April 2005 tersebut tentunya tidak akan berhasil sama sekali.

Berkat peran aktif masyarakat inilah maka menurut Kasudin Bintal Kesos Kotamadya Jakarta Timur, M. Anshary Atjo, berdasarkan pemantauan dirinya di jalan-jalan dan persimpangan jalan di wilayah Jakarta Timur, jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) seperti, gelandangan dan pengemis (gepeng), pedagang asongan dan pengamen sudah mulai berkurang.

“Saat ini berdasarkan pemantauan di jalan-jalan jumlah PMKS sudah turun drastis. Hal itu merupakan bukti bahwa Gerakan Mapan yang dicanangkan Gubernur Sutiyoso cukup berhasil,” ujarnya bersyukur.

Peluang Membantu Anak Jalanan

Kalaupun kita memang peduli dengan anak-anak jalanan maka ada beberapa hal bisa kita lakukan untuk mereka. Yang terpenting adalah adanya sebuah kesadaran baru untuk tidak memberikan uang secara langsung kepada anak jalanan, tetapi melainkan memberikan kesempatan pada mereka.

Ada beberapa alternatif “KESEMPATAN” yang bisa kita berikan kepada anak jalanan tersebut yaitu:

Pendampingan.
Karena perlakuan keluarga maupun lingkungan menyebabkan anak jalanan terkadang merasa bahwa mereka adalah anak yang tersingkirkan dan tidak dikasihi, olehnya kita dapat memulihkan percaya diri mereka. “Uang” kita dapat dialihkan dengan waktu yang kita berikan untuk mendampingi mereka. Dengan sikap “Penerimaan kita” tersebut dapat mengatasi “luka masa lalu” mereka.

Bantuan Pendidikan.
Kita dapat membantu mereka dalam pendampingan bimbingan belajar, memberikan kesempatan mereka untuk sekolah lagi dengan Beasiswa, Bimbingan Uper (Ujian Persamaan) untuk anak yang telah melewati batas usia sekolah. “Uang” kita dapat kita konversi menjadi “Beasiswa” (memang pemerintah telah membebaskan uang SPP untuk sekolah negeri, Namun hal tersebut digantikan dengan pungutan lainnya bahkan lebih mahal dari pada uang SPP yang telah dihapuskan dengan mengatas namakan “uang buku”, “uang kegiatan” dan lain-lainnya.

Bantuan Kesehatan.
Dengan latar belakang pendidikan yang rendah serta lingkungan yang tidak sehat mengakibatkan mereka rentan dengan sakit penyakit. Pada kondisi sekarang mereka bukanlah tidak memiliki uang untuk berobat namun kesadaran akan mahalnya kesehatan sangat rendah dalam lingkungan mereka. Uang kita dapat kita rubah menjadi penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kesehatan untuk awareness, subsidi obat-obatan serta subsidi perawatan kesehatan.

Penyediaan Lapangan Pekerjaan.
Sebagai contoh yang baik, saya melihat Carrefour misalnya telah melakukan terobosan yang sangat bagus dengan menerima 4 anak jalanan yang cukup umur untuk bekerja di perusahaannya. Langkah ini merupakan salah satu obat mujarab terhadap penyakit masyarakat yang menjangkit bahkan telah mulai membusuk dalam bangsa ini. Bayangkan jika terdapat “Carrefour-carrefour” yang lainnya, yang mau membuka kesempatan tersebut, mungkin jalanan akan sepi dengan anak anak jalanan karena orang tua mereka telah mulai bekerja. Profile keluarga dikembalikan seperti semula, orang tua menjadi penopang keluarga

Bantuan Pangan.
Dengan tingginya harga sembako membuat rakyat marginal tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan “Uang” dapat kita konversi dengan bantuan pangan dengan mengadakan Bazaar sembako murah, kembali kita tidak boleh memberikan kepada mereka secara gratis.

Dengan program/kampanye MAPAN seperti hanlnya yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta ini maka diharapkan akan muncul sebuah kesadaran baru untuk tidak memberikan uang secara langsung kepada anak jalanan tetapi memberikan kepada mereka “kesempatan”.

Kepedulian terhadap anak jalanan adalah baik adanya, namun jika dilakukan dengan kurang tepat terkadang bukan sedang menolong mereka namun sedang membunuh secara perlahan masa depan mereka. Dengan adanya upaya konversi terhadap “uang” yang diberikan, diharapkan dapat meningkatkan minat dari anak jalanan untuk keluar dari jalanan kembali kedalam kehidupan normal.

Dengan begitu kita menolong mereka dari resiko-resiko berbahaya serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyambut uluran tangan yayasan dan melakukan hal-hal yang berguna untuk masa depannya kelak.

Lewat tindakan kita dan kesempatan yang kita berikan, kita secara tidak langsung sedang memulihkan hak-hak asasi anak menurut Konvensi hak anak PBB (diratifikasi Keppres RI No. 36/1990) :
- Hak untuk hidup
- Hak untuk tumbuh dan berkembang
- Hak untuk memperoleh perlindungan
- Hak untuk berpartisipasi

Dengan kita berhenti memberikan "uang gampang" berarti kita telah menjadi sukarelawan pasif dalam usaha pemulihan hak asasi anak. Di satu sisi kita kasihan melihat mereka namun jika kita memberi uang maka mereka akan tetap seperti itu dan tidak mau menyambut uluran tangan dari yayasan-yayasan yang berniat membantu mereka. Di sisi lain dengan tidak memberikan uang maka kita berharap masa depan mereka akan lebih baik dari sekarang ini.

Kalau kita memang memiliki uang sedikit berlebih dan benar-benar ingin berderma, kita bisa memberikan reward kepada semangat bekerja dan berusaha bagi mereka-mereka yang memang mau berkerja. Sebisa mungkin,meskipun akan ada selisih harga, belanjalah kebutuhan kita kepada usaha-usaha yang dikelola oleh mereka. Kalaupun lebih mahal, anggaplah selisih harga ini sebagai sedekah untuk mereka. Lebih ekstrim lagi, belanjalah kepada mereka meskipun anda tidak terlalu membutuhkan barangnya. Semisal memborong pisang sampai busuk, sapu lidi kuyu, tape uli sebakul sampai busuk, yang penting anak-anak jalanan itu sudah berusaha, tidak mengemis semata. Hal ini sekali lagi jauh jauh lebih baik daripada sekedar memberikan "uang gampang" kepada anak jalanan.

Dan yang jelas dengan kesadaran gerakan Mapan ini, kita tidak lagi membuang Rp.1.5 Milyar receh kita setiap hari secara sia-sia.

Wednesday, November 04, 2009

Dongeng Cicak dan Buaya* dari Negara Niscaya

pada zaman dahulu kala, sebuah kisah terjadi di negara niscaya. boleh dipercaya sebagai kisah nyata. boleh dibaca hanya sebagai wacana. namun ini adalah dongeng dari negeri niscaya. apapun komentar anda, niscaya.... cerita ini bisa benar adanya.

ceritanya bermula ketika sedikit nyamuk yang semula dianggap tak berbahaya, tibatiba telah beranak pinak bebas merdeka. nyamuk pun merajalela kemana mana. menghisap darah segala sendi yang ada.

nyaring dengingnya mengganggu tidur warga, juga mengusik keasyikkan sang raja.sementara buaya yang semula didaulat menjaga tidur warga dan sang raja, terlalu mengantuk untuk bekerja yang semestinya. mau tidak mau. suka tidak suka. terpaksa tidak terpaksa. negara mendaulat sang cicak untuk bekerja melawan nyamuk-nyamuk yang semakin berkecamuk.

sang cicak yang kebetulan belum mengantuk karena baru saja dipercaya negara, segera beraksi penuh sensasi. segera bergerak menyelidik apa yang tak nampak. banyak nyamuk segera diamuk. tak perduli perang kepentingan banyak pihak segera berkecamuk.

karena sang buaya yang hanya dikenal suka mengantuk, maka kerja sang cicak yang sebenarnya biasa-biasa saja segera dianggap luar biasa. sang cicak yang sebenarnya hanya menjalani sesuai yang dikehendaki segera dianggap berprestasi.

sang cicak dipuji-puji di sana-sini, sampai akhirnya muncul sebuah duri. saat sang cicak mencari-cari nyamuk di bank suntuluyi sang buaya yang juga tidur di sana merasa turut diusili. buaya pun berang bukan kepalang. koarnya meradang, terbakar tak terkendali. bangkit berjungkit, mencari upaya mengebiri cicak yang dianggap tak tahu diri. cicak dan buaya pun mulai berperang tanpa genderang.

sang buaya menerjang tanpa ada yang mengekang. sang cicak mengerang, menggalang dukungan mereka yang peduli dan berani. sang raja meragu, sabar menunggu siapa yang bakal jadi abu, agar bisa dijadikan rambu. para warga terpecah, mereka-reka siapa yang salah.

sementara itu para nyamuk justru sibuk berasyik masyuk, memestakan kemenangan yang tak perlu mereka perjuangkan dengan peluh dan kaki tangan mereka sendiri.

Note:
*) Penggunaan istilah Cicak dan Buaya berasal dari kalimat seorang perwira tinggi di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Jenderal berbintang tiga itu berang setelah mengetahui telepon genggamnya disadap Komisi Pemberantasan Korupsi. “…cicak kok mau melawan buaya…” (Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol. Susno Duadji, Majalah TEMPO 6-12 Juli 2009)

Monday, November 02, 2009

Usai Lebaran

nampaknya...
habis sudah waktu kita
terus meniti pelan-pelan
rajutan sisa-sisa masa lalu
yang mengabarkan
indahnya kebersamaan

semuanya telah dimaafkan
merontokkan daundaun alpa
meninggalkan tunastunas baru
yang siap kembali trubus
untuk hijaukan hidup

sekarang kita samasama
kosong…
menyimpan putih sebagai bekal
coretan yang harusnya lebih bermakna

sekarang kita samasama
kembali kosong
jangan isi dengan iblisiblis baru
yang senang ingkari hati suci
sebagai tumbal gengsi

Note:
*)Lebaran adalah nama lain dari Hari Raya umat Islam, baik hari raya Idul Fitri maupun hari Raya Idul Adha yang selalu dirayakan setiap tahun.
Lebaran Idul Fitri atau biasa disebut "Lebaran" saja dilaksanakan ketika hari raya Idul Fitri tiba pada bulan Syawal setelah sebulan puasa Ramadhan, orang-orang Islam umumnya saling bersalam-salaman dan bermaaf-maafan dengan saudara, tetangganya, juga semua orang yang dikenal atau bertemu dengan mereka setelah menunaikan Shalat Ied.